Kamis, 19 Juli 2012

Mengenal NILOMETER Pengukur Tinggi Air Nil Sejak Jaman Fira'un


Data nilometer yang sangat akurat menjadi catatan sejarah penting bagi para ilmuwan masa kini

Nabi Yusuf mendap atkan mimpi tentang bakal terjadinya tujuh tahun masa kemakmuran di Mesir yang akan diikuti dengan tujuh tahun masa paceklik. Dengan informasi langit itu, Yusuf yang akhirnya diangkat oleh Firaun menjadi pejabat tinggi bisa mengelakkan Mesir dari bencana kelaparan.

Kemakmuran Mesir sangat bergantung pada Sungai Nil yang luapan airnya di musim banjir menjadi sumber air utama bagi lahan-pahan pertanian di sekitar. Sebenarnya, tanpa perlu mengandalkan sumber informasi nubuat, untuk mengetahui apakah besok bakal makmur atau paceklik rakyat Mesir bisa mengandalkan alat pengukur ketinggian air Sungai Nil yang diberi nama Nilometer.

Nilometer atau al-Miqyas dalam bahasa Arab, adalah situs sejarah unik dan tertua warisan masa lalu Mesir yang terletak di ujung selatan Pulau Rawdah, Kairo, Mesir. Pengukuran ketinggian air Nil dengan Nilometer terus dilakukan dari masa lampau hingga era modern. Nilometer telah mengukur kadar air Sungai Nil lebih dari 5.000 tahun. Selama 13 abad ini, catatan mengenai ketinggian air Sungai Nil terdata dengan rapi yang membuat Nilometer dikenal sebagai perangkat pengukuran air yang sangat baik dalam sejarah.

Alat ini dibangun sejak periode para Firaun menegakkan piramida, bahkan diyakini sudah ada sejak sebelum masa Nabi Yusuf. Dinasti Umayyah di bawah pimpinan Sulaiman Abdul Malik membangun kembali Nilometer di Pulau Rawdah, pulau di tengah Sungai Nil sepanjang tiga kilometer, sekitar tahun 715 M.
Tahun 815 M, Nilometer direnovasi oleh khalifah al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah, akan tetapi hancur diterjang banjir 35 tahun kemudian.

Nilometer yang masih berdiri hingga saat ini di Pulau Rawdah merupakan rancangan Abdul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir alFarghani, ilmuwan Muslim yang berasal dari Ferghana, Turkistan Barat.
Dunia Barat lebih mengenalnya sebagai Alfraganus sang astronom. Pembangunan Nilometer tahun 861 M di Pulau Rawdah itu atas perintah khalifah al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyah.

Pascabanjir, renovasi Nilometer dilakukan pada tahun 870 M oleh Ibnu Tulun sang pendiri Dinasti Thulun dan pada 1092 M oleh khalifah alMustansir dari Dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah. Bentuk Nilometer yang kita jumpai sekarang sebagian besar masih dalam wujudnya yang orisinal, kecuali atap kerucut kayu (kubah di bagian dalam) yang merupakan renovasi modern Nilometer yang hancur akibat ledakan saat Prancis menduduki negeri itu tahun 1825 M. Para insinyur Prancis mengetahui bahwa atap Nilometer yang asli berbentuk kubah, namun bentuk atap kerucut hasil coretan seorang pengembara dari Denmark akhirnya dipilih sebagai penghias Nilometer, Dinding Nilometer dihiasi kaligrafi khufi, selain tulisan biasa yang menceritakan mengenai peran khalifah alMutawakkil dalam pembangunannya, juga ada ayat-ayat Alquran yang meriwayatkan mengenai air, tanaman, dan kemakmuran. Hiasan kaligrafi tersebut ditulis di atas marmer putih berpadukan warna biru untuk menimbulkan kesan kontras yang kuat.

Ibnu Tulun yang masa pemerintahanya telah banyak menyumbang berbagai bangunan berarsitektur indah di Mesir tak ketinggalan ikut menjamah Nilometer. Di atas kaligrafi mengenai Mutawakkil, dia menambahkan dekorasi dinding Nilometer dengan ayat Alquran yang diambil dari surah Qaf ayat 9 dan surah alHaaj ayat 63. Sebagian ahli sejarah menduga tindakan Ibn Thulun itu disengaja untuk menutupi tulisan yang memuji al-Mutawakkil.

Nilometer di Kairo adalah instrumen canggih zaman Firaun dan Romawi seperti juga Nilometer yang berada di Pulau Elephantine, Aswan.
Nilometer Kairo terdiri atas sebuah lubang besar yang membentang di bawah permukaan air Sungai Nil.
Lubang tersebut terhubung dengan Sungai Nil oleh tiga terowongan pada ketinggian yang berbeda-beda. Terdapat 45 tangga dalam terowongan dengan lebar masing-masing 24 cm.
Fungsi tangga-tangga tersebut untuk mengukur ketinggian air Sungai Nil.

Di tengah-tengah lubang terdapat kolom marmer segi delapan yang disebut Corinthian Capital. Bagian atas Corinthian Capital ditutup oleh balok kayu. Untuk mengukur tingkat air, Corinthian Capital dibagi menjadi 19 hasta. Satu hasta sama dengan 50 centimeter atau setengah meter. Dengan demikian, Corinthian Capital dapat mengukur kadar air Sungai Nil hingga 9,5 meter. Banjir yang pernah diukur oleh Nilometer mencapai 16 hasta atau sekitar delapan meter.

Tinggi permukaan yang aman atau mencukupi adalah 14 hasta, yang berarti warga Mesir akan mengalami kebahagiaan hidup. Jika tinggi permukaan air Sungai Nil Kurang dari 14 hasta maka dapat diperkirakan Mesir akan mengalami kekeringan atau kelaparan. Sementara, ketinggian air lebih dari 16 hasta berarti bencana banjir besar.
Distribusi air Pengukuran banjir dengan Nilo meter menjadi hal yang penting bagi para penguasa, khalifah, dan masyarakat umum Mesir. Selama bulanbulan di musim panas, Nilometer Kairo digunakan untuk mengatur distribusi air serta untuk menghitung pungutan dari pajak yang dibayar sebagai upeti oleh Mesir kepada para khalifah.

Karena pentingnya dalam menentukan kemakmuran daerah, Nilometer Kairo menjadi bintang dalam Festival Pembukaan Terusan Fath alKhalij pada abad pertengahan yang berlangsung selama beberapa hari.
Terusan Khalij dibuka ketika tingkat air Sungai Nil yang diukur Nilometer mencapai 16 hasta. Ketika ketinggian air mencapai 16 hasta, banjir musim panas dari Sungai Nil digunakan untuk mengisi kanal. Selama festival, berbagai kapal akan menghiasi permukaan sungai.
Festival itu disebut-sebut sebagai festival Kairo yang paling spektakuler.
Namun, festival tersebut bukan perayaan tahunan. Ketika permukaan air Sungai Nil tidak mencapai 16 hasta, perayaan dibatalkan, dan diganti dengan doa dan puasa bersama yang diharapkan dapat menangkal kekeringan dan kelaparan. Catatan lengkap ketinggian air Sungai Nil dari Nilometer inilah yang membuatnya unik dan menjadi bahan penelitian berbagai ilmuwan sejak awal abad ke-20.

Data yang dikumpulkan dari Sungai Nil telah memacu pengembangan seluruh bidang matematika bersaman dengan bidang statistik yang berkaitan dengan memori masa lampau.
Ahli hidrologi Mesir Omar Toussoun yang telah mengumpulkan data ketinggian air Sungai Nil dari tahun 611 sampai 1921 mengatakan, terdapat suatu kurun waktu yang luar biasa dari sejarah kadar air minimum dan maksimum Sungai Nil. Lalu, ahli statistik dari Imperial College, London, Brandon J Whitcher, mempelajari variasi permukaan air Sungai Nil dari tahun 622 M hingga 1284 M.

Merekonstruksi Sejarah Cuaca

Salah satu cara untuk mengantisipasi peruba han iklim di masa depan adalah dengan memahami catatan masa lalu. Ilmuwan yang mempelajari perubahan iklim selama ini mengandalkan data iklim masa lalu yang dikumpulkan dari lapisan es di Greenland dan Antartika. Namun, catatan Nilometer juga bisa membantu ilmuwan untuk memprediksi perubahan iklim.

Dua peneliti dari Massachusetts Institute of Technology Elfatih AB Eltahir and Guiling Wang pada 1999 mempelajari sejarah tingkat air Sungai Nil. Keduanya menemukan hubungan yang kuat antara tingkat air Sungai Nil dan fenomena cuaca El Nino.

Menggunakan catatan Nilometer sampai tahun 622 M, mereka merekonstruksi sejarah El Nino sampai 1.300 tahun lampau. Ternyata, frekuensi El Nino pada 1990-an sangat melebihi apa yang terjadi di masa lalu. Pada periode tahun 700 hingga 1000 M, badai El Nino yang sangat aktif mempunyai frekuensi kejadian yang relatif kecil.

Para peneliti Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) bahkan menggunakan data Nilometer untuk meneliti aktivitas Matahari di masa lampau yang terkait dengan fenomena cuaca. Alexander Ruzmaikin dan Joan Feynman dari Laboratorium Propulsi Jet NASA di Pasadena, California, bersama dengan Yuk Yung dari California Institute of Technology pada 2007 menganalisis data ketinggian air Sungai Nil tahunan dari 622 sampai 1470 M. Data ini lalu dibandingkan dengan catatan sejarah lain pada periode sama di tempat lain, yaitu observasi atas penampakan cahaya aurora di belahan Bumi Utara.

Aurora muncul di belahan utara dan selatan Bumi akibat massa yang dilontarkan korona saat terjadi badai Matahari bertemu dengan medan magnet Bumi, bisa menjadi penanda aktivitas Matahari. Ketinggian air Sungai Nil dan catatan aurora mempunyai variasi regular yang mirip dalam periode 88 tahun untuk Nil dan 200 tahun untuk aurora.

Feynman mengatakan bahwa catatan nilometer sangat akurat dan datanya diambil langsung saat keja dian. Sementara, warga di Eropa Utara dan Timur Jauh, punya kebiasaan rutin mencatat fenomena munculnya aurora karena meyakini cahaya langit itu berpotensi mendatangkan bencana, misalnya, kematian raja.

Nil yang airnya bersumber dari Danau Tana di Ethiopia dan Danau Victoria di Tanzania merepresentasikan kondisi Afrika wilayah ekuator. Mengingat iklim Afrika terkait erat dengan variabilitas iklim di Samudra Hindia dan Atlantik, maka data Nilometer bisa dikaitkan dengan iklim global.

Dalam penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Geophysical Research itu, para peneliti NASA menyimpulkan bahwa variasi energi Matahari menimbulkan perubahan pola iklim Bumi yang disebut Modus Annular Utara. Di permukaan laut, fenomena ini dikenal sebagai Osilasi Atlantik Utara yang memengaruhi sirkulasi udara Atlantik. Selama periode tingginya aktivitas Matahari, osilasi ini juga memengaruhi cuaca di Samudra Hindia yang kemudian memengaruhi sirkulasi udara dan hujan di Sungai Nil. Jika aktivitas Matahari tinggi, ketinggian air Nil lebih rendah dan sebaliknya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More